PADA Juni lalu, BPK RI menyerahkan hasil audit atas laporan keuangan (LK) pemerintah (Pemerintah Pusat, kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah). Hal tersebut merupakan salah satu hasil Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah Indonesia pada 2003 dengan ditetapkannya tiga paket UU bidang Keuangan Negara. Beberapa hal mendasar dari reformasi tersebut antara lain anggaran berbasis kinerja, penyampaian pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD melalui LK, serta pemeriksaan dan pemberian opini BPK RI atas LK pemerintah.
Konsep dan Makna Audit
Sesuai dengan ketentuan, Presiden RI dan kepala daerah harus menyampaikan LK kepada DPR RI/DPRD paling lambat enam bulan sesudah berakhir tahun anggaran, setelah diaudit oleh BPK RI. Menindaklanjuti hal tersebut, BPK RI mulai melakukan audit dan memberikan opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) tahun 2006. Sementara untuk Pemerintah Daerah, mulai Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2005.
Pelaksanaan audit laporan keuangan tersebut sebagai wujud meminimalkan principal-agent problem atau sering disebut agency theory. Agency theory menjelaskan hubungan antara principal (pemilik) dengan agent (manajemen/executive), dimana principal sangat tergantung kepada keputusan agent dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam operasionalnya, ada kemungkinan terjadinya perbedaan kepentingan antara principal dan agent, yang dapat merugikan kepentingan principal atau organisasi. Oleh sebab itu dibutuhkan audit.
Dalam konteks pemerintahan, yang dimaksud principal adalah rakyat yang diwakili oleh DPR/DPRD. Sementara agent adalah pemerintah/eksekutif, dan auditor adalah BPK RI. Hal inilah yang mendasari, sebelum LK pemerintah disampaikan ke DPR/DPRD, LK tersebut harus diaudit oleh BPK. Tujuannya, pertama, memastikan tidak terjadi penyimpangan pelaksanaan APBN/APBD dari kesepakatan antara pemerintah dengan DPR/DPRD yang ditetapkan dalam UU APBN/Perda APBD, dan ketentuan lain tentang pengelolaan keuangan negara. Kedua, memastikan penyajian LK pemerintah sesuai dengan ketentuan. Audit BPK RI atas LK tersebut adalah financial audit (audit keuangan).
Tujuan financial audit adalah memberikan opini audit atas LK yang terdiri dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dan Tidak Wajar (TW). BPK RI memberkan opini audit berdasarkan 4 (empat) kriteria yaitu efektivitas sistem pengendalian internal, kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kecukupan pengungkapan (adequate disclosure)
Sesudah satu setengah dekade, perkembangan kualitas LK pemeritah (LKPP, LKKL dan LKPD) sangat signifikan. Hal ini terlihat dari perkembangan opini audit BPK RI. Pada semester I tahun 2020, BPK telah melakukan audit atas 88 LKKL. Dari 88 LKKL tersebut 85 LKKL atau 96,5% beropini WTP, 2 LKKL atau 2,3% beropini WDP dan 1 LKKL atau 1,2% beropini TMP. Demikian juga untuk untuk pemerintah daerah. Dari 541 LKPD yang diaudit, 485 atau 90% LKPD beropini WTP, 50 atau 9% LKPD beropini WDP, 6 atau 1% LKPD beropini TMP.
Dari gambaran opini audit di atas, bisa disimpukan bahwa governance pengelolaan keuangan pemerintah sangat baik dan opini WTP tersebut telah menjadi salah satu parameter keberhasilan kementerian/lembaga dan pemda. Namun, perlu dicermati, apakah pengelolaan keuangan pemerintah tersebut telah berimbas signifikan terhadap kualitas pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Transformasi Financial Audit ke Performance Audit
Tahun 2015, Ketua BPK RI, Harry Azhar Aziz mengatakan opini WTP pada LK pemerintah tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat, seharusnya pengelolaan keuangan negara berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Pernyataan tersebut didasarkan pada konsep bahwa LK dan opini audit BPK adalah bagian dari penyampaian akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara. Akuntabiltas pengelolaan keuangan Negara tersebut harus dikaitkan dengan UUD 1945 Pasal 23 ayat (1) “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal tersebut juga sesuai dengan konsep new public management bahwa anggaran dan kegiatan pemerintah harus berorientasi pada hasil, digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh sebab itu, timbul pemikiran untuk mengaitkan opini audit LK pemerintah dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Artinya, dalam penentuan opini LK pemerintah, tingkat kesejahteraan rakyat menjadi salah satu variable yang dipertimbangkan. Dengan demikian, pengelolaan keuangan yang baik, yang tergambar dalam opini audit BPK RI, sungguh-sungguh berkontribusi kepada kesejahteraan rakyat. Ketika suatu entitas pemerintah mendapatkan opini WTP, maka kesejahteraan rakyat entitas pemerintah tersebut meningkat. Setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah benar-benar berkontribusi untuk kesejahteraan rakyat.
Permasalahannya, apakah financial audit dapat mengakomodasi variable kesejahteraan dalam pemberian opini LK pemerintah? Secara konsepsi, financial audit bertujuan untuk menilai kewajaran LK suatu entitas berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Auditor juga melakukan pengujian angka-angka dalam LK terkait dengan keberadaan/keterjadian (existence/occurance), kelengkapan (completeness), hak dan kewajiban (rights and obligations), penilaian atau alokasi (valuation and allocation) dan penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure).
Dengan kata lain financial audit bukan untuk menilai kesejahteraan rakyat dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara. Oleh sebab itu, sudah selayaknya BPK RI dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) melakukan transformasi dari financial audit ke performance audit. Alasannya adalah pemerintah dan BPK RI selama lebih satu setengah dekade telah berhasil membenahi sistem pelaporan keuangan pemerintah. Maka penekanan audit sebaiknya beralih pada keberhasilan program/kegiatan pemerintah melalui performance audit. Performance audit akan menilai efisiensi, output dan outcome dari program/kegiatan pemerintah sehingga program/kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep value for money pengelolaan keuangan negara, setiap reources yang dikeluarkan harus menghasilkan ouput yang maksimal, dan output tersebut memberikan manfaat untuk kesejateraan maupun peningkatan kualitas layanan publik (outcome). (*)
*Penulis, Kepala Kanwil DJKN Kalimantan Barat,